A.
Latar Belakang
Kekerasan atas nama
agama biasanya di motivasi oleh dorongan akan imbalan masuk surga. Pada umumnya
para pelaku kekerasan atas nama agama biasanya berangkat dari pemahaman tafsir
keagamaan yang salah. Agama yang menjadi arena pertarungan dalam ruang publik
terbuka, biasanya menawarkan pelbagai tafsir yang mengarah kepada kekerasan
yang disahkan oleh tafsir-tafsir tertentu. Dalam islam misalnya, sejarah jatuh
bangunnya perdaban islam dan lahirnya sekte-sekte dalam islam tidak lepas dari
perbedaan tafsri keagamaan. Pada akhirnya legitimasi kekerasan atas nama agama
biasanya dibolehkan dan disahkan oleh kelompok tertentu.
Kekerasan-kekerasan
yang dilatar belakangi oleh tafsir keagamaan biasanya selalu mengarah kepada
gerakan fundamentalisme agama. gerakan fundamentalisme agama yang lahir dari
kekecewaan atas modernitas dan gaya hidup modern, selalu menawarkan solusi
untuk berjihad di jalan Tuhan. Masa depan agama yang digambarkan oleh gerakan
kaum fundamentalis sebenarnya tidak lepas dari ketakutan akan gejala modernitas
yang semakin tidak bisa dibendung. Kematian Tuhan yang digambarkan oleh Nietzsche,
sebagai ciri utama dari manusia modern dengan segala kemajuan ilmu
pengetahuannya.[1]
Namun dalam batas
tertentu agama kehilangan kekuatannya dalam kehidupan manusia yang sudah
mencapai taraf maju. Kekeringan spiritualitas ini sering kali dimaknai dengan
keinginan untuk kembali menjalani kehidupan ortodoks. Hanya saja formulasi
untuk hidup menyepi dan menghindarkan diri dari hiruk pikuk duniawi ternyata
tidak memberikan jamina, pada akhirnya penggunaan kekerasan atas nama agama
biasanya dilakukan dengan dalil menjalankan perintah Tuhan.
B.
Agama dan Legitimasi
Kekerasan
Paper ini mencoba menguraikan agama sebagai legitimasi kekerasan berdasarkan dalil-dalil yang dibangun lewat teks-teks keagamaan.
Teks-teks keagamaan tersebut sejatinya dibangun untuk membangun argumen yang
melegitimasi kekerasan atas nama agama. Hal ini tentunya sebagaimana yang
disoroti oleh Oliver MacTernan dalam buku Violence in God’s Name. Oliver secara
jeli melihat sejarah panjang kekerasan atas nama agama dilegitimasi oleh
dalil-dalil teks yang berdasarkan berbagai kepentingan.
Kekerasan atas nama agama yang
ditemukan dalam kitab-kitab agama besar biasanya menginspirasi para pelaku
untuk melakukan hal yang sama. Seperti halnya yang terjadi dalam kisah
Mahabarata dan Baghavad Gita. Dalam kitab tersebut diceritakan bagaimana
peperang yang memperebutkan kerajaan Astinapura dengan dalil-dalil teks
keagamaan, yang berkeyakinan bahwa perang tersebut imbalannya adalah surga.
Dalam konteks agama Yahudi misalnya, seorang panglima Israel yang bernama Josua
telah melakukan agresi militer sebagai upaya untuk menaklukan orang-orang
Kanaan dan Amori yang telah lebih dulu menduduki tanah Palestina. Seperti yang
telah diceritakan dalam kisah-kisah penaklukan tanah Palestina, ini dilandaskan
kepada perintah Tuhan terhadap tanah yang dijanjikan.
Namun demikian, legitimasi
kekerasan yang dilakukan tidak hanya terinspirasi dari sumber yang sifatnya normatif. Institusi keagamaan juga cukup berperan sebagaimana yang kita lihat, paus Urban II memberikan legitimasi terhadap sebuah kekerasan untuk
berperang atau melakukan kekerasan terhadap agama lain diluar agama Kristen.
Sejarah mencatatkan bahwa seorang Paus Urban II, tepatnya pada tanggal
27 Nopember 1095, menyeru kepada umatnya—khususnya
pada waktu itu untuk melakukan ekspansi penyerangan terhadap orang-orang Islam yang
menduduki tanah Suci Palestina— yang pada waktu itu diduduki oleh
tentara-tentara muslim.[2]
Sejatinya ide ini adalah bagian dari rencana sebelumnya yang telah dipraktekkan
oleh Gregory VII tentang ajaran kekerasan yang telah dipraktekan di Gereja.[3]
Di depan ribuan massa, Paus Urban
II berpidato tentang tanah perjanjian yang harus direbut kembali oleh umat Kristiani. Pidato
tersebut menjadi titik awal hubungan
Barat-Timur khususnya Kristen-Islam menjadi tidak harmonis. Pidatonya ini
memberikan sebuah legitimasi kekerasan yang dibangun berdasarkan agama. Paus Urban II memprotes keras terhadap orang-orang Seljuk Turki yang telah
menduduki Tanah Suci Palestina, sehingga
menurutnya itu mengotori tempat-tempat keramat orang Kristen dan menghalangi
orang-orang Kristen untuk melakukan Ziarah ke tempat tersebut. Salah satu point
penting dalam Pidato Urban II tersebut adalah seruannya untuk melakukan perang
suci.[4]
Dalam pidato tersebut, tentunya
kita bisa melihat bagaimana Paus Urban II membangun sebuah sentimen agama. Sentimen
tersebut tidak hanya memberikan penafsiran
religious atas tafsir agama, semisal memberikan gambaran kebahagiaan akhirat bagi yang turut ikut andil
dalam perang tersebut. Namun, secara ideologis seruan tersebut bermakna untuk melegitimasi agama sebagai
ajaran yang bisa membebaskan umat manusia dari beban dosa di dunia.[5]
Dalam konteks ini misalnya, Haryatmoko
menjelaskan bahwa ada tiga pemahaman yang bisa menjelaskan kaitan antara agama
dan kekerasan yang selama ini terjadi dalam sebuah masyarakat. Pertama,
agama berfungsi sebagai ideologi yang itu
biasanya dibangun berdasarkan kerangka
penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Dalam hal ini dijadikan sebagai dasar acuan dalam melihat hubungan sosial. Kedua, agama sebagai faktor identitas, sebagaimana diketahui
bersama bahwa seberapa besar dan majunya sebuah kebudayaan tentunya penopang
utamanya adalah agama. Ketiga, agama sebagai legitimasi dalam sebuah
hubungan sosial.[6]
Tiga faktor tersebut tentunya bisa dilihat
dalam konteks hubungan Barat dan Timur misalnya, seperti yang diuraikan oleh
MacTernan bahwa legitimasi kekerasan atas nama agama salah satunya di dasarkan
faktor pemahaman atas penafsiran kitab suci dari masing-masing pemeluk agama.
Walaupun demikian dalam kasus ini tidak semua orang Kristen Barat bersepakat
atas tindakan kekerasan yang didasarkan kepada keyakinan atas kepercayaan kepada Tuhan.[7]
Walaupun demikian kekerasan yang
terjadi dalam sejarah Eropa misalnya didasarkan atas intervensi Gereja dan Negara,
hanya saja Luther, Zwingli dan Calvin masih meragukan atas tindakan kekerasan
tersebut. Karena menurut mereka Tuhan
dan Negara pada dasarnya memiliki Otoritas masing-masing sehingga mereka dapat
mempengaruhi satu sama lain.
Calvin juga kemudian mendorong
perang suci, menurut Calvin negara mempunyai kekuatan untuk menggunakan
kekuasaannya untuk memerangi atau mendukung agama yang benar. Satu abad
kemudian Oliver Cromwell menunjukan dirinya sebagai agen tuhan yang kemudian
bertindak dibawah kekuasaan Tuhan, dan kemudian dia berpegang pada norma-norma
yang biasanya. Kemudian dia membenarkan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan
oleh kelompoknya di Drogheda pada tahun 1649 dimana pada kondisi itulah
menunjukan pengadilan Tuhan, ia Oliver Cromwell menodai tangannya dengan darah
orang-orang tidak berdosa.
Selanjutnya
dalam perkembanganya ada kelompok-kelompok yang disebut kaum pasifis seperti
Hussites, Anabaptists, Quaker, mereka itu adalah kelompok yang menolak
kekerasan karena tidak sesuai dengan cinta kepada Tuhan. Kelompok tersebut
mengatakan, bahwa “kami mencintai semua manusia sebagai mana mereka itu adalah
ciptaan Tuhan hal ini tentunya mereka bersaudara. Salah satu dari dua pendiri
tradisi Anabaptis-menonait benar-benar mutlak kepada komitmennya untuk
melakukan tindakan anti kekerasan kepada seluruh aspek kehidupannya. Dia
membenci pembunuhan yang disebabkan atas tindakan kekerasan atas nama agama.
Dan menegur siapa saja yang melakukan pembenaran atas nama pedang.
Pengenalan
tentang perang atas nama agama, seperti hal nya orang yang menyaksikan perang
salib yang pertama kali turut merusak hubungan antara Kristen dan Yahudi.
Sampai pada gelombang agama yang baru
bangkit di Eropa. Yahudi dilindungi dari kekerasan pisik dan dibiarkan untuk
memperaktekan keyakinan mereka tanpa intervensi. Jauh dari merefleksikan
penghargaan terhadap pluralisme, kepausan melakukan kebijakan utnuk tidak mengintervensi
yang didasari sebagai argument dari 14 Abad dari agustinus dari Hipo yang mana
dia mempertimbangkan keberadaan Yahudi meskipun mereka menolak. Jauh dari
penghargaan terhadap pluralisma para paus melakukan sangsi terhadap kebijakan.
Sedangkan Tuhan menurut agustinus menginginkan Yahudi dipelihara dengan Kitab
Perjanjian lama yang kemudian itu membicarakan kedatangan Yesus sebagaimana di
dalam teks tersebut sudah ada jawaban.
Sementara
dalam umat islam, pandangan para umat islam dibentuk oleh kepercayaan mereka
sebagaimana islam menggambarkan tidak ada perbedaan sekular dan saklar dan
tidak ada perbedaan penganut sosial, dalam kehidupan politik. Terlepas dari itu
kekerasan agama dalam konteks masyarakat islam tidak bisa dilepaskan dari bagaimana
memahami islam dan jihad. Islam dan Jihad adalah kata yang memiliki nilai-nilai
spiritual dan esensial.
Kita
perlu memahami sosial dan politik dimana islam itu berkembang dimana islam itu
bermula dan dimana islam itu meluas. Seperti halnya di Yastrib yang kemudian
berganti nama menjadui Madinah, dimana Muhammad kemudian menyusun ulang atau
merekontruksi komunitas islam pertama kali. Dalam sejarahnya komunitas ini
berkembang menjadi Ummah.
Kematian
Muhammad pada tahun 632, yang tidak menunjukan suksesi selanjutnya kemudian
menimbulkan krisis besar yang kemudian itu menyebabkan pragmentasi politik dan
pemberontakan Tribal (Kesukuan). Pada masa Ali RA misalnya mengingatkan mereka
membentuk politik keagamaannya sendiri. Doktrin bahwa turunannya ali lah yang
berhak menjadi pemimpin keagamaan politik di masyarakat. Selain dari pada itu jastifikasi
keagamaan untuk berperang terdapat dalam al Qur’an yang dilakukan oleh Muhammad
dan pengikutnya. Sebagaimana praktek perang berkembang menjadi cara hidup, kemudian
aturan-aturan pemerintahan secara langsung juga berkembang tentang perang. Dari
sejarah awal persatuan umat islam diancam oleh seri babakan revolusi secara
internal dan oleh mereaka yang percaya penggunaan kekerasan bahwa memurnikan
agama mereka kepemimpinan yang tidak sesungguhnya.
C.
Kesimpulan
Secara
umum menurut sejarah tradisi keagamaan besar di dunia menunjukan bagaimana
tanpa pengacualian masing-masing komunitas keyakinan semuanya itu menghadapi ancaman
kemudian di interpretasikan secara fundamental untuk mengakomodasi perubahan
yang menolak penggunaan kekerasan untuk melindungi dan mengamankan
kepentingan-kepentingan sektarian mereka.
Daftar Pustaka
Armstrong, Karen. Berperang demi Tuhan, Fundamentalisme dalam
Islam, Kristen, dan Yahudi terj Satrio Wahono dkk (Bandung, Mizan, 2001)
Ternan, Oliver Mc. Violence in God’s name, (Londen: Darton
Longman and Todd, 2003)
Haryatmoko, Etika
Politik dan Kekuasaan, (Jakarta, Kompas, 2003)
[1] Karen Armstrong, Berperang demi Tuhan, Fundamentalisme dalam
Islam, Kristen, dan Yahudi terj Satrio Wahono dkk (Bandung, Mizan, 2001),
hlm. 314.
[2] Oliver Mc
Ternan, Violence in God’s name,
Londen: Darton Longman and Todd, 2003. hlm. 60.
[3] Oliver Mc
Ternan, Violence in God’s name,
Londen: Darton Longman and Todd, 2003. hlm. 60.
[4]
Karen Amstrong misalnya memberikan ilustrasi dan menamainya dalam rangkaian
kejadian tersebut sebagai perang suci hal ini tentunya didasarkan kepada
teks-teks yang dibangun berdasarkan teks keagamaan.
[5]Karen Armstrong, Holy
War, London Macmillion Publishers, 1988.
[6] Haryatmoko,
Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta,
Kompas, 2003, hlm, 64.
[7]Oliver Mc
Ternan, Violence in God’s name,
Londen: Darton Longman and Todd, 2003. hlm. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar