Tema
kemanusiaan, keadilan dan pembebasan memang tidak akan pernah habisnya dalam
pemikiran umat manusia, karena pada dasarnya manusia butuh kehidupan yang bebas
dan tidak pernah mengikat.[1]
Tentunya tema tersebut tidak akan pernah usang di makan zaman. Berbagai
pemikiran filsafat pun memberikan warna dalam khazanah keilmuan terkait tema
tersebut. Namun apa yang disumbangkan oleh para pemikir filsafat pun tidak
hanya sebatas wacana semata, sehingga tanggung jawab ilmu pengetahuan lah
sebagai dasar dari pembangunan manusia.
Sejatinya
ide pembebasan dalam pemahaman orang awam adalah usaha untuk membebaskan manusi
dari kungkungan yang serba mengikat manusia itu sendiri. Dalam hal ini ilmu
pengetahuan mencoba menjelaskan bagaimana pembebasan itu sendiri bisa dimaknai
dengan bertanggung jawab atas perdamaian antar umat manusia. Hal ini lah yang
mencoba dijelaskan oleh Hasan Hanafi lewat tema pembebasan, dalam konteks
pemahaman umat islam sebagai bagian dari tanggung jawab ilmu pengetahuan.
Hasan
Hanafi, pemikir muslim modernis asal Mesir, merupakan tokoh yang akrab dengan
simbol-simbol pembaharuan dan revolusioner. Ide-ide seperti Islam Kiri,
Oksidentalisme dan Hermeneutika adalah tema yang dikaitkan kepadanya. Tema-tema
tersebut dikemasnya dalam rangkaian proyek besar, pembaharuan pemikiran islam,
dan usaha untuk membangkitkan umat dari kemunduran dan kolonialisme modern.
Modernisme
yang dibayangi oleh imperialisme di maknai oleh Hanafi sebagai model penjajahan
baru. Hal ini kemudian disoroti oleh Hanafi sebagai penjajahan budaya. Dengan
tegas Hanafi mencoba menjelaskannya lewat Kiri Islam dimana usaha untuk
mengembalikan Barat pada batas-batas yang sewajarnya.
Biografi
Singkat Hasan Hanafi
Hasan
Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935, dari keluarga musisi. Pendidikannya
diawali lewat sekolah dasar dan tamat pada tahun 1948. Kemudian dilanjutkan di
Madarasah Tsanawiyah “Khalil Agha”, Kairo dan lulus pada tahun 1952. Semasa
Tsanawiyah, Hanafi adalah sosok yang aktif dalam diskusi Ikhwanul Muslimin.
Persentuhannya dengan kelompok Ikhwanul Muslimin dan aktifitas-aktifitas
sosialnya sejak kecil telah memberinya pengaruh luar biasa dalam karir
intelektualnya. Pada akhirnya Hanafi lebih memilih untuk berkonsentrasi
mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial masyarakat muslim.
Pada
tahun 1966 Hanafi memperoleh gelar Doktornya di Universitas Sarbonne, Paris
Perancis. Persentuhannya dengan dunia Barat semakin memberikan gambaran kepada
Hanafi bahwa muslim adalah negara dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Pada tahun 1967 Hanafi kembali ke negaranya ketika itu Mesir dihadapkan dengan
perang melawan Israel akan tetapi kekalahan Mesir dari Israel membuatnya
dilarang melakukan kegiatan-kegiatan yang berbau politik hal ini kemudian
menjadikan Hanafi lebih memilih hijrah ke Amerika Serikat.[2]
Latar
belakang kepindahannya ke Amerika Serikat tentunya berawal dari larangan
aktitifas sosial-politiknya oleh pemerintah Mesir pada waktu itu. Di Amerika Hanafi
mengajar di Universitas Temple (1971-1975) namun demikian kegiatan akademik
yang ia lakukan terhenti untuk kembali ke Mesir ketika gerakan anti
pemerintahan Anwar Sadat meletus. Hanafi yang terbiasa dengan sisi lain
akademik dunia Barat dan terbiasa hidup dalam lingkungan Barat tentunya
menyeret Hanafi untuk lebih kritis terhadap lingkungan muslim yang pada umumnya
miskin dan terbelakang.
Sekembalinya
dari Amerika, Hanafi mulai menulis tentang tema-tema yang bersifat pembaharuan
dalam dunia islam hal ini tentunya dilihat dari kondisi obyektif dunia islam
yang masih terbelakang dan miskin sementara lingkungan dimana Barat adalah
suatu dunia yang sangat berbeda. Timur yang dilihat oleh Hanafi tentunya adalah
gambaran keterbelakangan yang dilematis secara garis besar Hanafi berpendapat
bahwa kondisi internal ini tentunya harus diperbaiki dari pelbagai aspek.
Pemikiran
Hasan Hanafi
Pemikiran
Hasan Hanafi tidak terlahir dari ruang hampa yang kosong. Latar belakang
pendidikan dan kondisi sosial dimana Hanafi dibesarkan menjadi alasan utama
bagaimana pemikiran Hanafi lahir dan berkembang. Dilahirkan di negara jajahan
tentunya memberi kesadaran lebih kepada Hasan Hanafi bahwa ia harus berbuat dan
bertanggung jawab pada agamanya.
Selain itu latar belakang kekalahan perang yang
dialami oleh Mesir terhadap Israel tentunya memberi dampak yang signifikan
terhadap diri Hanafi, meskipun kepergiannya ke Amerika untuk menjadi civitas
akademik tapi tidak menutup keterputusan kontak dengan para aktifis lain di
negeri tersebut. Hal ini terbukti ketika meletusnya upaya pelengseran Anwar
Sadat, Hanafi kembali ke Mesir.
Beberapa langkah yang diambil Hanafi, terhadap kondisi
muslim Mesir yaitu apa yang disebutnya dengan rekontruksi terhadap khazanah
klasik yang dianggapnya masih bersifat membelit diri muslim pada umumnya. Upaya
rekontruksi ulang sendiri diharapkan sebagai jalan untuk menyejajarkan muslim
dengan Barat atau sebagai solusi dari muslim yang terbelakang. Hanafi melihat
misalnya ilmu kalam yang dianut oleh aliran Mu’tazilah perlu dikembangkan
kembali atau setidaknya perlu dipopulerkan kembali karena sesuai kebutuhan
sekarang yang sifatnya rasional. Dalam hal ini tentunya Hanafi mengkritik
tradisi yang selama ini dianut oleh Asy’ariyah, ia berpendapat bahwa tradisi Asy’ariyah
lah yang menjadikan umat selama berabad-abad mengalami kemandekan.[3]
Sedangkan dalam tradisi Filsafat Hanafi mengikuti
pandangan Ibn Rusyd yang berusah menghindarkan iluminasi dan metafisika.
Komitmen ini dibangun Hanafi sebagai usaha terhadap kritik terhadap umat islam
yang tertinggal jauh oleh negara-negara Barat. Dalam konteks ini Hanafi secara
tegas menolak sufisme yang sifatnya menolak gerakan duniawi, karena bagai
hanafi Sufisme seperti itu menjadikan gerakan sosial yang terjadi adalah
gerakan vertikal yang sifatnya keluar dari konteks dunia, implikasinya gerakan
umat tidak milik bersama akan tetapi terjadi perpindahan proses yang disebut dengan
kelompok tarekat.
Dalam
konteks ini sebenarnya Hanafi melihat bahwa kekalahan umat islam dalam berbagai
bidang menjadi momentum untuk memulai semangat berdialog dengan dunia di luar
dirinya sendiri.
Ada
tiga point yang ditawarkan oleh Hasan Hanafi terhadap kondisi umat muslim pada
waktu itu diantaranya melalui ide “Tradisi dan Pembaharuan”. Adapun
langkah-langkah yang ditempuhnya sebagai berikut.[4]
Pertama,
membangun “sikap kita terhadap tradisi lama”. Ia merekontruksi bangunan
teologis dalam tradisi klasik sebagai alat transformasi sosial.
Kedua,
menyatakan “sikap kita terhadap Barat”. Studi ini ia terapkan dalam kajian
Oksidentalisme
Ketiga,
meretas “sikap kita terhadap realitas” studi ini melalui teori dan pengembangan
interpretasi atau hermeneutik.
Dalam
hal ini, tampaknya Hanafi berusaha mengangkat tema pembacaan kritis atas dunia
Barat dengan tetap berpijak pada realitas ego yang dimiliki tradisi lama.
Artinya, ia menangkap ada problem epistimologis yang bersembunyi, baik dalam
tradisi Timur maupun tradisi Barat, yang kemudian menjadikan Timur inferior
(sebagai kesalahan membaca tradisi) dan munculnya Barat sebagai superior ego
atas the other.
Penulis
sendiri melihat proyek ini sebagai bagian dari persentuhan Hanafi dengan dunia
Barat. Kekalahan demi kekalahan yang dialami dunia muslim tentunya memberi
dorongan terhadap Hanafi dalam menggarap tiga agenda diatas tersebut. Dalam
bagian ini paper ini akan melihat agenda Hanafi dalam melihat Barat sebagai
bagian dari the other.[5]
Kiri Islam sebuah proyek ilmu pengetahuan
Tanggung
jawab seorang muslim adalah melepaskan kungkungan dari pelbagai keterbelakangan.
Kondisi dimana seorang muslim dan manusia pada umumnya yang tertindas tentunya
tidak hanya dijadikan tontonan tanpa sebuah solusi. Sebagai seorang muslim yang
mengeyam pendidikan Barat dan memahami dengan benar kondisi Barat secara
keseluruhan tentunya Hasan Hanafi berusaha mewujudkannya lewat
aktifitas-aktifitas sosial dimana dia dilahirkan. Menghadapi realitas sebagai
muslim yang terjajah dan terkooptasi oleh kondisi ketertindasan seharusnya
muslim yang baik tidak menjadikan status qou langgeng ditengah-tengah kondisi
muslim yang tertindas. Dalam konteks ini Hanafi berusaha menempatkan agama
sebagai term dalam diskusi pembebasan. Agama yang dimaknai oleh Hanafi sebagai
alat perubahan berusaha untuk terlibat langsung baik secara kontak fisik maupun
melalui buku-buku yang ia tulis dan sebarkan.
Seperti
yang telah penulis paparkan diatas bahwa ada tiga sumbangan besar Hasana Hanafi
dalam pembaharuan pemikiran islam diantaranya pertama tradisi dan pembaharuan
yang orientasinya adalah membangun “sikap kita terhadap tradisi lama” suatu
sikap yang berusaha untuk merkontruksi bangunan teologis yang ada dalam tradisi
klasik sebagai perjuangan untuk perubahan. Kedua Hanafi berusaha untuk bersikap
terhadap tradisi Barat” ini berkaitan dengan studi Oksidentalismenya dimana
usaha ini ditempuh Hanafi untuk melihat dan meletakan Barat dalam diskursus
yang sewajarnya. Dan pemikiran yang terakhir dari Hanafi adalah suatu
pernyataan “sikap kita terhadap realitas” ini ditempuh melalui pengembangan
teori dan pembangunan paradigma interpretasi.
Sebagai
pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaharuan dalam
merekontruksi islam yang disusunnya dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats
dan Pembaharuan), dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang ia terbitkan pada
tahun 1979.[6]
Konsep itu merupakan kelangsungan dari gagasan Al Urwatul Wusqo-nya Jamaluddin
Al Afgani dan Muhammad Abduh. Menurutnya, penggunaan nama “kiri” sangat penting
karena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawananan dan
kritisisme. Masih menurut Hanafi bahwa kiri islam adalah istilah dalam ilmu
politik yang berusaha menggambarkan antara realitas dan idealitas sebagai
bagian dari kritik akademik.
Sebagai
bahan dari proyek yang dicanangkan Hanafi sebenarnya Kiri Islam adalah nama
yang populer pada tahun 1979. Proyek ini adalah lanjutan dari semangat Hanafi
untuk melihat Barat dan Muslim pada umumnya dalam konteks masyarakat modern.
Namun demikian istilah ini diakui oleh Hanafi sebagai bagian dari proyek yang
dikembangkan oleh Ali Syari’ati seorang pejuang Islam Iran. Secara keseluruhan
lahirnya kiri islam dapat dibagi ke dalam empat tahapan yang satu sama lainnya
saling berkaitan diantaranya,
Pertama,
tafsir terhadap khazanah klasik menjadikan lahirnya para penguasa agama yang
terkooptasi dengan kekuasaan yang pada akhirnya tidak mampu memberikan metode
dalam pembaharuan umat islam.
Kedua,
maraknya praktek-praktek liberalisme menjadikan golongan lemah semakin
tertindas sementara golongan elit hanya menjadi kepanjangan tangan dari para
penguasa negara
Ketiga,
marxisme yang mempunyai agenda hampir sama melawan kolonialisme dan
ketertindasan kaum kecil ternyata dipandang Hanafi belum menyentuk aspek lain
dari diri umat islam. Tentunya hal ini jauh dari harapan Hanafi sebagai muslim
yang belum mampu merdeka secara sepenuhnya.
Keempat,
lahirnya nasionalisme revolusioner ternyata belum mampu berpihak kepada
kesadaran rakyat kecil untuk membawa perubahan dalam masyarakat Arab-islam
secara keseluruhan sehingga hal ini mendorong Hanafi untuk melakukan
revitalisasi khazanah intelektual klasik yang berdampak dan memberi pengaruh
terhadap rakyat.
Maka
dalam ini “kiri Islam” merupakan sintesis dari eksplorasi atau tafsir ulang
yang cerdas terhadap khazanah keilmuan islam dan analisis Marxian atas kondisi
obyekrif (tradisi) yang mengakar dalam sebuah masyarakat. Tradisi yang
dimaksudkan adalah tradisi keagamaan yang membentuk medan kebudayaan masa. Bahkan
dalam banyak hal kiri islam bertumpu pada tiga dataran metodologi, tradisi atau
sejarah islam, fenomenologi dan analisis sosial Marxian.[7]
Hanafi berkeyakinan bahwa kiri islam bisa berhasil jika realitas masyarakat,
politik, ekonomi, khazanah islam dan tantangan terpenuhi. Dan ini terjadi dalam
revolusi Islam Iran, dimana syarat-syaratnya terpenuhi sehingga kebangkitan
Islam Iran dalam hal ini bisa dibilang berhasil.
Dalam
pandangan Hanafi Barat dapat dianalisis dan kontruksi dasar bangunan
epistimologinya ditemukan.[8]
Untuk menganalisis hal di atas, Hanafi menggunakan metode fenomenologi dengan
mengungkapkan dua hal pokok, Islam telah dimanfaatkan untuk kepentingan politik
dan melembaga dalam kehidupan bangsa Arab.[9]
Analisis perspekfit Marxian menampilkan dua realitas kontras secara diametral
kaya-miskin, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, tuan tanah-buruh,
terbelakang-maju, dan sebagainya.
Menurut
Hanafi, kiri islam lahir setelah melihat berbagai kegagalan dalam metode
pembaharuan masayarakat islam Timur (Islam) yang dilakukan beberapa generasi
dalam mengentaskan keterbelakangan dan kemisikinan. Dengan demikian tanggung
jawab ilmu pengetahuan untuk bisa menjawab semua persoalan baik itu kemiskinan,
ketidakadilan, dan perdamaian harus dimulai dengan gerakan dalam diri muslim
itu sendiri agar muslim mampu berbicara untuk dirinya sendiri. Sehingga tugas
dari kiri islam baik secara teoritis maupun praktis adalah menantang dan
mendudukan Barat dalam batas yang sewajarnya.
Respon
terhadap Kiri Islam
Sebagai
bagian dari muslim yang tinggal di Indonesia tentunya penulis melihat apa yang
dilakukan Hanafi adalah suatu upaya yang sangat menarik sekali. Namun demikian
proyek kiri islam yang secara ideologis menyatukan pelbagai aliran pemikiran
Marxisme, Liberalisme, Nasserisme dan Islamism dalam konteks masyarakat
Indonesia tentunya penulis meragukan gagasan tersebut. Model penyatuan pelbagai
aliran pemikiran tersebut akan sangat utopis bila dalam konteks masyarakat
Indonesia disatukan yang pada akhirnya akan melahirkan konfrontasi
berkepanjangan.
Kiri
islam yang dalam studi oksidentalisme adalah sumbangan Hasan Hanafi bila
dilihat dalam masyarakat islam Indonesia nampaknya wacana tersebut kurang
begitu mendapatkan perhatian. Upaya penguatan umat islam dalam konteks
oksidentalisme adalah proses mengkaji Barat dalam kacamata Timur, yaitu suatu
posisi dimana Barat dijadikan objek yang diselidiki dan dikaji oleh si subjek
timur. Akan tetapi wacana ini pun masih minim solusi karena konteks Dunia
ketiga yang masih dalam kondisi terjajah, secara ekonomi ini sangat
mempengaruhi para peneliti dari Dunia ketiga untuk datang ke Barat. Terhadap problem
ini Hanafi pun belum bisa memberikan solusi dan jawaban yang memuaskan.
Kesimpulan
Dari
penjelasan yang penulis paparkan di atas, tentunya bisa diambil sebuah gambaran
bahw tanggung jawab ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk kemajuan dan
kesejahteraan. Dalam konteks perdamaian Hanafi lebih memilih jalan dengan
gerakan untuk melihat Barat dan mengembalikan Barat pada batasan-batasan yang
sewajarnya. Hal ini diharapka agar imperialisme terhadap bangsa-bangsa dunia
ketiga tidak berlangsung terus menerus.
Daftar Pustaka
Boullata, Islamika, edisi, I,
(Juni-Sept, 1993)
Hanafi, Hassan. Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Tradisi
Barat Terj M. Najib Buchori (Jakarta: Paramadina, 2000)
Hanafi, Tafsir Fenomenologi, Terj. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta, Bismillah
Press, 2001)
Nurhakim, Moh. Islam Tradisi dan Reformasi, (Jatim: Bayumedia Publishing, 2003)
Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam antara modernisme dan post
modernisme terj M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula (Yogyakarta: LkiS, 2012),
hlm, 9.
Syukur Dister, Nico. Filsafat Kebebasan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1996)
[4] Hasan Hanafi, Oksidentalisme,
Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat Terj M. Najib Buchori (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm, 1.
[6] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam
antara modernisme dan post modernisme terj M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula
(Yogyakarta: LkiS, 2012), hlm, 9.
[7] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam
antara modernisme dan post modernisme terj M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula
(Yogyakarta: LkiS, 2012), hlm, 112.
[8] Boullata, Islamika, edisi, I,
(Juni-Sept, 1993), hlm, 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar