Tidak ada sesuatu yang lebih menggetarkan jiwa dan memberikan secercah cahaya harapan bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia selain berakhirnya Orde Baru pasca kejatuhannya di tahun 1998. Masih segar dalam ingatan bahwa kejatuhan Orde Baru memunculkan banyak cerita yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, khususnya orang Tionghoa yang merayakannya sebagai euforia yang tak berkesudahan. Bagi orang Tionghoa, Orde Baru adalah mimpi buruk yang harus mereka jalani lebih dari tiga dasa warsa, pelbagai kebijakan dan diskriminasi etnis turut menjadi catatan perjalanan yang tidak mudah dilupakan begitu saja.
Sebagai etnis minoritas, orang Tionghoa
dikontruksi sebagai citra negatif dalam pandangan pribumi. Kontruksi tersebut
setidaknya selalu diciptakan dalam bayang-bayang sosiologis, maka bayangan
tersebut akan selalu melekat pada diri yang diciptakan. Pada saat kejatuhan
Orde Baru, orang Tionghoa menjadi sasaran amuk masa dan terjadilah penjarahan
dan pembakaran toko-toko milik orang Tionghoa. Tentunya kejadian tersebut tidak
lepas dari kontruksi yang selama ini dibangun tentang Tionghoa yang menguasai
ekonomi Pribumi dan berbagai stigma lainnya.
Pasca 1998 segalanya berubah dan semoga
demikian, hanya saja sedemikian optimiskah perubahan dari obyek menjadi subyek tersebut.
Dalam buku yang ditulis oleh I. Wibowo dan kawan-kawan yang berjudul “Setelah Air Mata Kering, Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa
Mei 1998” dimana para penulis buku tersebut
menyajikan gairah kejatuhan Orde Baru dengan menampilkan semangat nilai-nilai
ke-Indonesiaan namun tidak lepas dari tradisi Tionghoa yang melekat di
dalamnya. Tampilnya orang Tionghoa dalam arena Politik Nasional, setidaknya
memberikan gambaran bahwa Indonesia telah berubah dan perubahan tersebut
menuntut orang Tionghoa terlibat aktif di dalamnya.
Judul Buku : Setelah Air Mata Kering,
Masyarakat Tionghoa
Pasca-Peristiwa Mei 1998.
Editor : I. Wibowo & Thung
Ju Lan
Penerbit : Kompas
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan Kedua April
2010
Tebal Halaman : 250 + ix
Dalam
konteks beragama, orang Tionghoa pun memiliki kebebasan untuk memilih beragama
sesuai keyakinannya masing-masing. Munculnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
sebagai orang yang menyatakan bahwa Agama Khonghucu adalah agama yang diakui
oleh negara turut memberikan andil dalam merayakan euforia tersebut. Kegagalan
Orde Baru dalam mengakomodasi agama Khonghucu sebagai agama orang Tionghoa
menyebabkan mereka penganut Khonghucu terlempar dalam situasi yang tidak
menguntungkan. Dicabutnya tentang Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang
melarang orang Tionghoa merayakan hari raya mereka di tempat umum menjadi
cerita lain dalam euforia yang sedang berlangsung.
Catatan menarik dari buku ini adalah semangat
Tionghoa yang ditampilkan menuju era dimana mereka kembali ke akar tradisi dan
budaya leluhur yang selama Orde Baru dilarang. Ass R. Kaboel dan Nita Madona
Sulanti menyoroti ini dengan melihat perkembangan Bahasa Mandarin di Indonesia
pasca kejatuhan Orde Baru. Tentunya gejala merebaknya bahasa Mandarin di
Indonesia tidak lepas dari hubungan diplomatik yang dibangun kembali dengan
Republik Rakyat Tiongkok pada 8 Agustus 1990. Hanya saja, gejala demam Mandarin
baru dirasakan euforianya setelah Orde Baru jatuh dan berlanjut dengan
dicabutnya surat Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
Setelah Air Mata Kering, bagaimana masyarakat
Tionghoa sekarang? Lantas masih sama kah pandangan Pribumi dengan Tionghoa
sekarang, dan harus memulai dari mana citra negatif tentang Tionghoa itu
dihapuskan dalam ingatan kolektif Pribumi. Bagi orang Tionghoa kecemasan
harusnya menjadi pengingat agar selalu mawas diri, mengingat stabilitas politik
tidak selamanya menguntungkan. Dan kini harusnya kita menyudahi euforia
tersebut dan mulailah dengan saling memikul beban bersama sebagai sejarah yang
harus saling dimaafkan meskipun itu tidak mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar